Malang (beritajatim.id) – Perjalanan dari Surabaya menuju Gunung Arjuna tiba-tiba terasa pendek. Tak hanya perubahan suhu yang seolah datang mendadak, tapi juga panoramanya. Di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, hamparan kebun teh menyambut dari lereng timur Gunung Arjuna. Hijau, asri, tanpa cela.
Menikmati suhu udara di ketinggian 950-1250 meter di atas permukaan laut, jelas jadi momen yang terasa luar biasa. Meski beberapa orang menyebut, suhunya sudah tak dingin seperti beberapa tahun silam, kesejukan lereng Arjuna jelas masih terasa.
Di tempat ini, dengan mudah kita bisa menemukan catatan kecil tentang Kebun Teh Wonosari. Tentang kawasan seluas lebih dari 300 hektar, jadwal aktivitas ratusan pemetik daun teh, hingga varitas teh yang dikembangkan di Wonosari.
Dari jauh terdengar suara mandor menyapa para pemetik. Ada belasan mandor, yang masing-masing membawahi 20 pemetik teh. Tangan mereka bergerak cepat, memasukkan pucuk daun dalam kacok atau keranjang wadah daun teh. Mereka juga mengenakan tempong atau sarung plastik untuk melindungi bagian bawah tubuh para pemetik.
Salah satu mandor di tempat ini mengatakan, periode panen dilakukan setiap tujuh hari sekali. Selesai di satu area, mereka berpindah ke area lain. Semacam rotasi. Dan masa petik produksi yang diterapkan adalah tiga tahun. Dalam sehari, mereka bisa panen lebih dari tujuh ton daun teh basah. “Ini tinggi ideal. Sudah 60 centimeter lebih,” celetuk salah satu mandor.
Untuk mendukung kawasan Agrowisata Teh Wonosari, dibangun beberapa fasilitas pendukung seperti rumah makan, penginapan, sentra belanja dan sarana olahraga, ruang pertemuan, hingga area camping area dan outbond.
Agro Wisata Teh Wonosari memang memiliki posisi yang cukup strategis. Ada di tengah jalur Surabaya-Malang, tidak jauh dari kota Lawang melalui jalan sepanjang 6 kilometer arah barat Jalan Surabaya-Malang. Hanya 80 kilometer sisi selatan kota Surabaya.
Dengan bekal ketinggian 950-1250 meter dari permukaan laut, temperatur 19 hingga 26 derajat celcius, kelembaban udara saat siang antara 60 hingga 70 persen dan malam 80 – 90 persen, kawasan ini jelas punya peluang besar untuk diminati. Belum lagi nilai historisnya.
Ya, perkebunan ini dibuka pertama kali oleh perusahaan perkebunan NV Cultur Maatschappij Lawang. Disusul perusahaan perkebunan Maatschappij Wonosari, antara tahun 1875-1919, yang menjadikan Wonosari fokus pada tanaman teh dan kina.
Lalu ketika masa penjajahan Jepang, teh diganti dengan tanaman pangan. Memasuki masa pengambilalihan aset pada tahun 1950–an, kina kembali diganti dengan teh. Dan saat itu, Kebun Teh Wonosari menjadi aset bangsa Indonesia.
Seiring impian pembangunan nasional, kawasan wisata ini juga terus dikembangkan. Mulai dari kawasan pemukiman, fasilitas balai pengobatan, hingga sarana pendidikan. (hdl)