Jakarta (beritajatim.id) – Universitas Paramadina melalui Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dan Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) menggelar diskusi bertajuk BRICS vs OECD: Indonesia Pilih yang Mana?.
Diskusi ini membahas posisi strategis Indonesia dalam dinamika ekonomi global terkait opsi bergabung dengan kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) atau OECD (Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi).
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, menjelaskan bahwa BRICS telah muncul sebagai kekuatan ekonomi baru yang bersaing dengan dominasi Amerika Serikat dan Eropa.
“Rusia dan China, sebagai anggota BRICS, telah menegaskan bahwa BRICS kini memiliki pasar yang lebih besar dibandingkan OECD, dengan populasi besar dan ekonomi yang terus berkembang,” ujar Prof. Didik.
Sementara itu, ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, MPP., menyoroti potensi dan tantangan BRICS bagi Indonesia. Menurutnya, BRICS membuka peluang besar bagi ekspor dan stabilitas mata uang, namun ketergantungan ekonomi terhadap China dapat menjadi risiko yang perlu diperhitungkan.
Dalam paparan lainnya, Wijayanto juga menyebutkan ketertarikan 34 negara, termasuk Arab Saudi, untuk bergabung dengan BRICS.
“Meskipun ekonomi global masih didominasi dolar AS, BRICS dapat memperkuat ekonomi anggota melalui stabilitas mata uang lokal dan peningkatan investasi langsung asing (FDI),” ungkapnya.
Indonesia di Persimpangan Ekonomi Global
Indonesia kini berada pada pilihan strategis, yakni bergabung dengan BRICS, OECD, atau bahkan keduanya. Ahmad Khoirul Umam, Ph.D., Direktur PPPI dan Ketua Program Studi PGSD Universitas Paramadina, menegaskan bahwa inklusivitas dan diplomasi ekonomi Indonesia sangat penting.
“Indonesia harus memperkuat posisinya di antara BRICS atau OECD demi mencapai kesejahteraan dan stabilitas ekonomi,” ujarnya, mengutip Menteri Luar Negeri.
Menurut Umam, bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS berpotensi memperkuat ekonomi melalui kolaborasi dengan negara anggota lainnya.
Namun, ia juga mengingatkan tentang risiko ketegangan dengan negara-negara Barat, terutama terkait ketergantungan yang lebih besar kepada China, yang merupakan kekuatan dominan di BRICS.
Dosen Universitas Paramadina, Fajar Anandi, juga menekankan pentingnya kebijakan luar negeri yang fleksibel dan pragmatis.
“Indonesia harus meningkatkan kapasitas diplomatik, mempertahankan kepemimpinan regional, dan memastikan akses sumber daya. Penting bagi Indonesia untuk tetap independen dalam menentukan arah kebijakan luar negeri yang berkesinambungan,” tegasnya.
Diskusi ini menjadi ajang pertukaran pandangan strategis bagi Indonesia untuk menentukan langkah terbaik dalam percaturan ekonomi internasional. Bergabung dengan BRICS atau OECD, masing-masing memiliki keuntungan dan tantangan yang perlu dipertimbangkan untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah global. (hdl)