Surabaya (beritajatim.id) – Kukuh Yudha Karnanta SS MA, dosen Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR), menorehkan prestasi membanggakan. Ia terpilih sebagai salah satu dari sepuluh penulis terbaik dalam program Emerging Writers Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2025.
Uniknya, keikutsertaan Kukuh dalam ajang sastra prestisius tersebut bermula dari cerpen yang awalnya ia siapkan untuk media cetak. Namun, karena jumlah katanya melebihi batas, Kukuh mencari alternatif lain dan menemukan bahwa UWRF menerima naskah sepanjang 3.500 kata.
“Cerpen itu awalnya saya buat untuk koran, tapi terlalu panjang. Setelah saya cari tahu, UWRF ternyata bisa menampung naskah sepanjang itu. Maka saya kembangkan cerpennya,” tutur Kukuh.
Cerita Berangkat dari Arsip
Cerpen yang ditulis Kukuh berlatar di Makam Eropa Peneleh, Surabaya, dan menyoroti masa transisi dari kolonialisme Belanda ke pendudukan Jepang pada awal tahun 1942. Kisahnya mengangkat kehidupan para warga Belanda di kamp-kamp interniran, berdasarkan riset mendalam dari arsip pemakaman yang ia baca saat mengikuti program Memori Kolektif Bangsa.
“Saya terinspirasi dari arsip pemakaman yang ditulis seorang warga Belanda. Saya percaya bahwa makam bukan hanya milik mereka yang mati, tetapi juga bagian dari proses memori bagi yang hidup,” ungkap Kukuh.
Alih-alih menulis dalam format akademik, Kukuh memilih merangkainya dalam bentuk cerita pendek agar bisa lebih bebas mengeksplorasi nilai-nilai kemanusiaan. Cerita tersebut menyoroti relasi ayah dan anak laki-laki, yang menurutnya bersifat universal.
“Saya ingin memberi ruang bagi sisi emosional dan manusiawi dari arsip-arsip yang saya baca. Ini bukan soal data, tapi tentang bagaimana sejarah bisa bicara lewat narasi,” jelasnya.
Cerpen itu rencananya akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan pada Oktober 2025 mendatang.
Proses Kreatif yang Tidak Instan
Menulis cerpen ini bukanlah proses yang instan. Kukuh mengaku harus melalui banyak tahapan revisi, pengecekan detail, hingga mengumpulkan data tambahan di luar arsip utama. “Saya lupa sudah berapa kali merevisi. Tapi saya beruntung punya sahabat dan kolega yang membantu memberi masukan,” katanya.
Ia juga menyampaikan bahwa pengalaman ini menjadi pengingat akan pentingnya menjelajah banyak sumber inspirasi untuk penulisan, tidak hanya dari sastra semata.
“Menulis tidak bisa dilepaskan dari keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Sejarah, budaya lokal, hingga teknologi bisa jadi bahan bakar kreativitas,” tutup Kukuh, yang juga pernah meraih penghargaan Kritik Film Terbaik di Festival Film Indonesia 2021. (ted)