Jakarta (beritajatim.id) – Industri pulp dan kertas di Indonesia menunjukkan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional. Sepanjang tahun 2023, sektor ini mencatatkan nilai ekspor mencapai USD 8,37 miliar, menyumbang 4,48 persen dari total ekspor industri pengolahan dan 4,03 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan non-migas.
Indonesia bahkan tercatat sebagai produsen pulp terbesar kedelapan dan produsen kertas terbesar kelima di dunia, dengan kapasitas produksi pulp mencapai 11,45 juta ton dan kertas sebesar 21,19 juta ton per tahun.
Dengan pencapaian tersebut, Kementerian Perindustrian mengimbau agar industri pulp dan kertas semakin menerapkan prinsip industri hijau dan berkelanjutan. Hal ini dilakukan sebagai upaya mendukung target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2050, lebih cepat 10 tahun dari target nasional di tahun 2060. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
“Kami percaya bahwa dengan sinergi dari semua pihak, termasuk industri pulp dan kertas, langkah ini akan berdampak positif bagi lingkungan, kesehatan masyarakat, dan ekonomi hijau di Indonesia,” ungkap Direktur Jenderal Industri Agro, Putu Juli Ardika, pada pertemuan CEO Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia di Surabaya.
Sebaran industri pulp dan kertas saat ini berfokus di Pulau Jawa dengan 57 industri aktif, dan 23 perusahaan di antaranya berada di Jawa Timur. Kebutuhan bahan baku kertas daur ulang untuk industri ini mencapai 7 juta ton per tahun, dengan impor kertas non-B3 mencapai 3,24 juta ton pada 2023. Pemerintah memastikan bahwa impor tersebut berasal dari limbah non-B3 yang aman dan dikelola secara ramah lingkungan.
Namun, regulasi pengiriman limbah dari Uni Eropa (EU Waste Shipment Regulation) yang mulai berlaku Februari 2025, diprediksi akan berdampak pada pemenuhan bahan baku impor. Untuk itu, pemerintah bersama industri sedang menyiapkan standar yang memenuhi kriteria sebagai negara eligible.
Indonesia juga memperketat regulasi terkait impor limbah non-B3, di antaranya melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 39 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Rekomendasi Impor Limbah Non-B3. Putu menambahkan bahwa langkah ini akan mempercepat persiapan industri pulp dan kertas menuju perdagangan karbon yang kini sudah menjadi keharusan.
Indonesia menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 31,89 persen pada 2030 atau hingga 43,2 persen dengan dukungan internasional melalui Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). Pelaku industri pulp dan kertas telah menjalankan berbagai inisiatif seperti penggunaan biomassa untuk energi, pemanfaatan lindi hitam, sistem anaerobic untuk pengolahan limbah, dan upaya lainnya yang mendukung Energi Baru Terbarukan (EBT).
Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia, Liana Bratasida, menegaskan bahwa tantangan utama sektor ini adalah pengurangan emisi, pemanfaatan sumber energi bersih, dan pengelolaan limbah yang efektif. “Industri ini berkomitmen untuk menjalankan agenda hijau dengan tata laksana pengelolaan limbah dan transisi energi yang mumpuni,” ujarnya.
Dengan langkah-langkah tersebut, industri pulp dan kertas Indonesia diharapkan terus berkembang secara berkelanjutan, sejalan dengan komitmen terhadap pembangunan hijau yang dapat memberikan dampak positif bagi ekonomi nasional dan lingkungan. (ted)