Jakarta (beritajatim.id) – – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan Founder Jimly School of Law and Government (JSLG), Jimly Asshiddiqie, menyatakan dukungannya terhadap penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dalam Pemilu 2029.
Menurutnya, kebijakan ini akan memperluas peluang setiap anak bangsa untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden (Capres) serta memperkaya demokrasi Indonesia.
Dalam acara Ngaji Konstitusi bertajuk Masa Depan Demokrasi Indonesia: Presidential Threshold Pasca Putusan MK yang digelar di Jakarta, Jumat (10/1/2025),
Jimly menekankan pentingnya memberikan kesempatan yang setara bagi setiap calon, terlepas dari latar belakang etnis atau wilayahnya.
“Semakin banyak Capres, semakin baik. Indonesia memiliki keberagaman etnis, jadi untuk apa dibatasi? Biaya kampanye mungkin besar, tapi tetap akan ada mekanisme alami yang mengatur jumlah Capres,” ujar Jimly.
Ia juga menegaskan bahwa penghapusan ambang batas presiden akan membuka ruang lebih besar bagi representasi etnis dari seluruh wilayah Indonesia, seperti Aceh dan Papua. Menurutnya, inklusivitas ini akan memperkaya demokrasi dan mencerminkan semangat kebhinekaan.
Kontrol Alami Bagi Jumlah Capres
Jimly menepis anggapan bahwa banyaknya Capres akan membebani proses pemilu. Ia percaya bahwa mekanisme alami, seperti kebutuhan akan biaya kampanye yang besar dan pertimbangan elektabilitas, akan secara otomatis membatasi jumlah calon yang serius maju.
“Tidak mungkin jumlah Capres mencapai belasan. Pilpres itu mahal, dan para pendukung akan menghitung peluang menangnya. Tidak ada yang mau buang uang sia-sia. Jadi, mekanisme kontrol ini sudah ada secara alami,” jelasnya.
Penghapusan ambang batas presiden disahkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XXII/2024.
Putusan ini diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yaitu Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Diskusi terkait putusan ini turut dihadiri sejumlah pakar, seperti Titi Anggraini (Pakar Hukum Kepemiluan Universitas Indonesia), Geofani Milthree Saragih (Founder Adikara Cipta Aksa), Jamaludin Ghafur (Kepala Departemen Hukum Tata Negara FH UII), serta Taufiqurrohman (Dewan Pakar JSLG).
Harapan Bagi Demokrasi yang Lebih Inklusif
Dengan penghapusan ambang batas ini, demokrasi Indonesia diharapkan menjadi lebih inklusif. Jimly meyakini bahwa kebijakan ini akan mendorong munculnya calon presiden dari berbagai latar belakang etnis dan budaya, mencerminkan keragaman bangsa.
“Terpilih atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting, semua suara dari berbagai daerah dan etnis bisa tersalurkan,” kata Jimly.
Meski jumlah Capres dapat bertambah, mekanisme alami akan tetap menjadi kontrol efektif, memastikan hanya calon dengan kemampuan dan elektabilitas tinggi yang mampu bersaing. (hdl)