Surabaya (beritajatim.id) – Jelang sholat maghrib lelaki itu mempercepat langkah menuju Masjid Ampel Surabaya. Ia sengaja mengambil air wudlu dari hotel, agar tak perlu antre di dekat masjid.
Usai menata sandalnya ia bergegas masuk dan mulai menjalankan salat sunnah, tanpa tergesa. Sesudahnya, Moh. Firman, nama laki-laki itu, menunaikan salat maghrib bersama ratusan jamaah.
Firman datang dari Jakarta sejak kemarin malam. Seperti dua bulan lalu, ia kembali menyempatkan diri datang ke Masjid Ampel. Ia menginap di sebuah hotel di Jl Sultan Iskandar Muda, Surabaya. Dari hotel, hanya butuh waktu lima menit menuju masjid. Jaraknya kurang lebih 700 meter, lewat Jl KH Mas Mansyur dan Jl Petukangan.
Pria asal Bojonegoro ini mengaku, ia selalu menyempatkan diri untuk datang ke Masjid Ampel. Masjid yang bagi dia memiliki makna istimewa.
Dari Bojonegoro ia ikut orang tuanya pindah ke Surabaya. Lalu lulus kuliah bekerja di sebuah perusahaan web development di Jakarta. Semasa di Surabaya, ia kerap diajak ayahnya salat jamaah di Masjid Ampel. Dan ingatan itu terus membekas hingga kini.

Usai berjamaah, seperti puluhan wisatawan lain yang hari itu datang, ia pun menikmati momen jalan-jalan di Kawasan Wisata Religi Masjid Ampel Surabaya. Berburu kurma yang senantiasa ada tanpa bergantung pada musim. Atau belanja peralatan salat, minyak wangi, bahkan potong rambut di sebuah barbershop.
Jika sempat, ia bisa menikmati kuliner lezat di Gule Mariam Ampel Pak Madun, atau Resto Yaman di Jl KH Mas Mansyur.
Selebihnya, duduk santai di dekat masjid, melihat pengunjung yang terus berdatangan tanpa henti. Dari sebuah warung kopi di sudut jalan kecil, ia melihat traveler dari Jakarta, seperti dirinya, datang bersama keluarga atau kawan-kawannya. Ada juga pengunjung dari dalam Kota Surabaya, Lamongan, Gresik, Madura, dan masih banyak lagi.
Sejarah Masjid Ampel
Masjid ini didirikan pada tahun 1421 oleh Sunan Ampel dengan bantuan sahabat karibnya, Mbah Sholeh dan Mbah Sonhaji, serta para santri.

Masjid yang terletak di kawasan Ampel, Kecamatan Semampir, Surabaya, ini berdiri di atas lahan seluas 120 x 180 meter persegi. Sejak tahun 1972, Pemkot Surabaya menetapkan Kawasan Masjid Agung Sunan Ampel sebagai tempat wisata religi.
Kawasan Ampel di bagian utara Kota Surabaya dikenal dengan mayoritas penduduknya yang merupakan etnis Arab, menciptakan suasana khas Timur Tengah.
Di kawasan ini, terdapat pasar yang menjual barang dan makanan khas Timur Tengah. Masjid Ampel, pusat kawasan ini, terletak di Jalan Ampel Suci 45 atau Jalan Ampel Masjid 53 dan telah menjadi salah satu tujuan wisata religi utama di Surabaya.
Masjid Sunan Ampel dibangun dengan gaya arsitektur Jawa kuno yang dipengaruhi oleh budaya Arab Islami, serta akulturasi budaya lokal dan Hindu-Buddha.
Masjid ini menjadi tempat berkumpulnya ulama dan wali dari berbagai daerah di Jawa untuk membicarakan ajaran Islam dan metode penyebarannya.
Masjid ini terbuat dari kayu jati yang didatangkan dari berbagai wilayah di Jawa Timur, diyakini memiliki karomah seperti yang diceritakan masyarakat. Saat pasukan asing menyerang Surabaya, masjid ini tetap utuh tanpa kerusakan sedikitpun.
Sunan Ampel tidak hanya membangun masjid dan pesantren, tetapi juga meninggalkan falsafah malima yang berarti menolak lima keburukan, berjudi, mabuk, mencuri, madat, dan berzina.

Masjid Ampel selalu dijaga dan dirawat kebersihannya hingga kini. Pada awal tahun 1970-an, nadzir pertama kali dibentuk dengan KH Muhammad bin Yusuf sebagai nadzir pertama, dilanjutkan oleh KH Nawawi Muhammad hingga tahun 1998.
Perjalanan panjang Masjid Ampel pada akhirnya meninggalkan jejak panjang yang tak pernah pudar. Tanpa perdebatan panjang, masyarakat dan pejabat setempat tak berhenti menjaga kawasan ini. Agar Masjid Ampel tetap berdiri, terjaga, dan memiliki makna yang abadi. (hdl)