Surabaya (beritajatim.id) – David, 27 tahun, kembali mengenakan sandal. Sesaat ia bercanda dengan Usman, 25 tahun, tetangganya yang juga baru menjalankan sholat dzuhur berjamaah. Wajah mereka nampak cerah, seperti siang di Kota Surabaya hari ini.
Beberapa waktu lalu, mereka baru saja menjalankan sholat dzuhur bersama belasan orang lainnya di dalam Masjid Cheng Ho, masjid dengan sentuhan arsitektur unik yang kerap jadi jujugan warga kota, baik untuk kebutuhan ibadah, atau yang lain.
Saat memenuhi shaf sholat, mereka, baik warga Tionghoa dan Jawa, berjajar khusuk. Sungguh harmoni yang menyejukkan. “Iya, siapa aja bisa sholat di sini. Kita di dalam kadang lupa kalau saya Tionghoa, atau Usman yang Jawa. Nggak penting juga bahas soal ginian di dalam masjid,” candanya.
Ya, Masjid Muhammad Cheng Ho di Surabaya tumbuh menjadi simbol pemersatu Islam dan budaya Tionghoa. Terletak di kompleks PITI (Pembina Iman Tauhid Islam) di Jalan Gading, masjid ini mencerminkan keharmonisan dua budaya yang sering dipandang berjauhan.
Warga Tionghoa di Surabaya, yang jumlahnya tak sampai 25 persen dari populasi, memiliki variasi agama namun tetap berkomunikasi tanpa hambatan apalagi beban.
Masjid seluas 231 meter persegi ini merupakan hasil keinginan masyarakat Muslim Tionghoa untuk memiliki tempat ibadah representatif. Peletakan batu pertama dilakukan pada Oktober 2001, dengan kehadiran tokoh-tokoh Tionghoa non-Muslim seperti Bintoro Tanjung, Henry J. Gunawan, Liem Ou Yen, dan Bingky Irawan.
Desain masjid mengadopsi bentuk khas budaya Tionghoa, mengambil inspirasi dari Masjid Niu Jie di Beijing yang dibangun pada tahun 996 masehi.
Proses pembangunan masjid selesai dalam enam bulan dengan biaya sekitar Rp 700 juta, berkat bantuan dana dari masyarakat umum dan Tionghoa non-Muslim. PITI meyakini bahwa tempat ibadah tidak memiliki pakem tertentu, sehingga arsitektur masjid dapat disesuaikan dengan budaya lokal.
Pada Oktober 2002, masjid ini resmi dibuka secara soft opening. Arsitekturnya unik dengan dominasi warna merah dan kuning emas, menyerupai klenteng.
Masjid ini dinamai Masjid Muhammad Cheng Ho, untuk menghormati penyebar Islam yang terkenal di Indonesia. Masjid ini mampu menampung sekitar 200 jamaah, dengan bangunan utama seluas 99 meter persegi.
Angka-angka 8, 9, dan 11 pada desain masjid memiliki makna mendalam, yaitu ukuran Ka’bah pertama, jumlah Wali Songo, dan lambang keberuntungan dalam budaya Tionghoa.

Papan nama masjid ditulis dalam huruf Mandarin oleh Duta Besar Cina untuk Indonesia, Lu Shu Ming, dengan makna Masjid Cheng Ho. Terdapat juga replika kapal Laksamana Cheng Ho, yang dibuat oleh Abadaeng, seorang warga Surabaya asal Sulawesi.
Masjid ini mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) karena arsitekturnya yang unik dan berciri khas Tionghoa. Filosofisnya, Masjid Cheng Ho tidak hanya untuk ibadah, tetapi juga untuk menyampaikan pesan bahwa nenek moyang Tionghoa juga ada yang muslim, menjadikan Islam tidak asing bagi mereka.
David dan Usman, kemudian pamit dan berjalan santai ke arah motor yang mereka parkir di dekat masjid. Sementara beberapa yang lain masih duduk di dalam masjid, sekedar melepas lelah, atau membaca Al Quran di teras. (hdl)