Mojokerto (pilar.id) – Kota Mojokerto, yang terkenal dengan julukan kota onde-onde, ternyata juga memiliki warisan budaya, kerajinan sarung tenun ikat yang telah ada selama 37 tahun.
Bertempat di Jalan Pemuda, Kelurahan Gedongan, Kecamatan Magersari, Kota Mojokerto, Faris Abdat (36), tetap konsisten mengembangkan usaha sarung tenun ikat.
Selain memiliki toko oleh-oleh haji, produksi kain tenun generasi ketiga ini dilakukan di bagian belakang rumah mereka.
Terdapat lima alat tenun manual yang digunakan oleh para ibu yang terampil dalam berdaster. Bersama dengan beberapa pekerja lainnya, mereka sibuk memilah, memberi warna, mengelos, mengikat, dan merangkai benang sebelum dilakukan tenun.
Setelah benang-benang itu diolah, mereka kemudian menjahitnya menjadi sarung sebelum dikemas dan didistribusikan. Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, Faris Abdat memantau setiap tahap dalam merangkai setiap helai benang hingga menjadi kain.
“Ini merupakan usaha yang dimulai oleh kakek pada tahun 1986, lalu dilanjutkan oleh ayah, dan sekarang giliran saya. Jika dihitung sejak awal, sudah 37 tahun. Semua proses pengerjaan dilakukan secara manual, kecuali dalam tahap menjahit kain menjadi sarung,” ungkap Faris.
Dalam menjahit kain menjadi sarung, Faris telah menggunakan mesin listrik. Sebagai pewaris usaha keluarga, ia menyadari bahwa persaingan di industri sarung tenun ikat akan semakin ketat di masa depan karena hampir semua produk sarung telah beralih ke industri tekstil.
“Dari segi kuantitas, memang jumlah sarung yang diproduksi semakin banyak dan beragam. Namun, karena kami menggunakan metode pengerjaan manual, saya dapat menawarkan harga yang lebih tinggi daripada sarung produksi pabrik. Kualitas dan konsistensi adalah kunci utama bagi kami,” tambahnya.
Rentang harga untuk sarung tenun ikat produksi mereka adalah mulai dari Rp150 ribu hingga Rp450 ribu. Dalam hal pemasaran, Faris memiliki target yang spesifik baik dalam hal lokasi maupun konsumen. Terutama, para santri dan jemaah haji merupakan pangsa pasar utama yang paling tertarik.
“Karena semuanya dibuat secara handmade, harga sarung terendah kami adalah Rp150 ribu dan tertinggi Rp450 ribu. Karena pengerjaannya dilakukan secara manual, maka ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan kami lebih dihargai dibandingkan dengan produk pabrik. Sasaran pemasaran kami adalah kaum santri di daerah Jawa Tengah dan Timur Tengah,” jelasnya.
Pemasaran terbesar dilakukan di daerah Jawa Tengah seperti Solo atau Magelang. Menjelang Hari Raya Idul Fitri, Lebaran Haji, atau saat santri mulai masuk pondok, permintaan sarung sangat tinggi. Dalam sehari, mereka dapat memproduksi maksimal 20-25 sarung.
“Ketika ada periode ramai seperti itu, saya bisa mendapatkan keuntungan bersih hingga Rp20 juta. Saya berharap bahwa ke depannya, usaha tenun ini tetap eksis dengan adanya kesempatan pemasaran yang lebih luas dan tidak lagi dibatasi oleh aturan-aturan. Seperti yang terjadi selama Pandemi Covid-19 kemarin,” tegas Faris. (tin/suf)