Tangerang (beritajatim.id) – Polri, bekerja sama dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), memberikan penanganan khusus kepada korban pelecehan seksual yang terjadi di sebuah Yayasan Panti Asuhan di Tangerang.
Langkah ini merupakan bentuk komitmen Polri dalam melindungi masyarakat, terutama kelompok rentan seperti anak-anak.
Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, Karopenmas Divisi Humas Polri, menegaskan pentingnya perlindungan anak dalam layanan kepolisian.
“Ini adalah bukti nyata komitmen Polri dalam melayani masyarakat, khususnya anak-anak yang merupakan kelompok rentan,” ujar Trunoyudo di Mabes Polri, Rabu (9/10/2024).
Ia juga menyebutkan bahwa perhatian khusus terhadap anak menjadi prioritas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang telah membentuk Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) serta Penanganan Orang dengan Gangguan Kejiwaan (PPO) untuk meningkatkan layanan ini.
Kasus ini bermula saat Satreskrim Polres Metro Tangerang Kota mengungkap adanya dugaan pelecehan seksual terhadap anak-anak di Yayasan Panti Asuhan di Kelurahan Kunciran Indah, Tangerang.
Polisi telah menangkap tiga tersangka, yaitu S (49), ketua yayasan yang menjadi pelaku utama, serta dua pengasuh, YB (30) dan YS (28). Ketiga tersangka telah ditetapkan memiliki penyimpangan seksual sesama jenis.
Kapolres Metro Tangerang Kota, Kombes Pol Zain Dwi Nugroho, menyatakan bahwa kasus ini terungkap setelah seorang korban berusia 16 tahun melapor ke Polresta Tangerang pada 2 Juli 2024.
Proses penyelidikan sempat terkendala karena kondisi psikis korban yang tertekan, sehingga Polri dan P2TP2A menunggu kesiapan korban sebelum melanjutkan pemeriksaan.
“Anak-anak membutuhkan penanganan khusus. Kami menunggu sampai korban siap dan akhirnya dapat melakukan pemeriksaan pada 30 September 2024, didampingi oleh P2TP2A,” jelas Zain dalam konferensi pers di Mapolrestro Tangerang Kota, Selasa (8/10/2024).
Hingga kini, total tujuh laporan telah diterima, dengan empat korban anak-anak dan tiga korban dewasa.
Pelaku dijerat dengan Pasal 76E juncto Pasal 82 UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda hingga Rp 5 miliar. (tin/hdl)