Surabaya (beritajatim.id) – Maraknya kontroversi terkait kebijakan pemerintah Indonesia yang dianggap meleset dari sasaran seringkali menjadi perbincangan hangat di masyarakat.
Baru-baru ini, kasus Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) mencuat sebagai salah satu kebijakan yang dianggap melenceng dari targetnya. Namun, menurut Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Airlangga (Unair), Gitadi Tegas Supramudyo Drs MSi, permasalahan ini sebenarnya tidak begitu besar.
“Dari sekian banyak penerima KIP-K, jika hanya ada satu atau dua kasus yang bermasalah, itu bukanlah masalah besar. Dalam perspektif kebijakan, kita harus berpegang pada data dan fakta yang ada. Kita perlu menganalisis dan mengevaluasi berapa banyak yang benar-benar mengalami masalah,” papar Gitadi dalam pernyataannya.
Menurutnya, kunci keberhasilan kebijakan atau program pemerintah adalah melibatkan berbagai lembaga yang kredibel dalam menentukan sasaran program tersebut, bukan hanya bergantung pada satu lembaga saja.
“Kita tidak boleh terlalu bergantung pada satu lembaga, atau bahkan hanya bergantung pada kampus saja. Kampus pun memiliki kepentingan untuk mendapatkan bantuan. Oleh karena itu, diperlukan keterlibatan lembaga atau institusi independen yang lebih kredibel dalam menentukan sasaran program,” tambahnya.
Gitadi juga memberikan kritik terhadap implementasi KIP-K, menyatakan bahwa program tersebut hanya baik di permukaan saja. Dia menekankan pentingnya adanya struktur atau institusi khusus yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program atau kebijakan tersebut.
“Saat ini, banyak perguruan tinggi yang telah memiliki mekanisme yang baik dalam menentukan SPP dan menangani mahasiswa yang membutuhkan bantuan. Namun, masih diperlukan lembaga khusus untuk memonitor pelaksanaan kebijakan atau program tersebut,” tegasnya.
Gitadi juga menekankan pentingnya peraturan yang tegas dalam kebijakan tersebut. Menurutnya, peraturan tidak boleh bersifat fleksibel, dan perlunya proses yang fair dalam menentukan penerima bantuan.
“Aturan harus jelas dan tidak fleksibel. Ketika status ekonomi seseorang telah meningkat, bantuan harus segera diputus. Namun, prosesnya haruslah adil dan teliti. Kita tidak boleh mengandalkan asumsi semata, tetapi harus dilakukan pengecekan yang detail,” jelasnya.
Terakhir, Gitadi menyerukan pentingnya survei, riset, serta pemberian alternatif rekomendasi pada penyelenggaraan kebijakan pemerintah, agar proses kebijakan dapat dianggap cerdas dan efektif. (mnd/ted)