Surabaya (beritajatim.id) – Wacana pemberian denda damai bagi koruptor kembali menjadi sorotan publik setelah Presiden Prabowo mengusulkan pengembalian hasil korupsi sebagai syarat memaafkan pelaku.
Meski telah diklarifikasi, pernyataan ini memicu diskusi luas karena dinilai memberi hukuman yang terlalu ringan bagi tindak pidana korupsi (tipikor).
Pakar Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR), Riza Alifianto Kurniawan, SH, MTCP, menjelaskan bahwa saat ini belum ada dasar hukum yang mengizinkan pemberian denda damai bagi koruptor.
“Aturan yang ada saat ini menekankan efek jera melalui pidana penjara, denda, serta pengembalian kerugian negara. Denda damai untuk tipikor belum diatur,” ujarnya.
Denda Damai dan Politik Hukum Baru
Riza menilai bahwa jika wacana ini diwujudkan, maka hal tersebut akan menciptakan arah baru dalam politik hukum di Indonesia. Namun, ia menegaskan bahwa pemberian denda damai tidak bisa menghapus kesalahan koruptor.
“Meski denda damai nantinya diperbolehkan, tetap harus ada penentuan bersalah terhadap pelaku. Ini tidak boleh menggantikan pertanggungjawaban pidana,” tegasnya.
Dampak dan Kekhawatiran Pengulangan Korupsi
Riza mengingatkan bahwa kebijakan denda damai berisiko mendorong pengulangan tindak pidana korupsi. Menurutnya, sistem hukum harus tetap memberikan efek jera.
“Jika pelaku merasa cukup mengembalikan kerugian negara tanpa pidana tambahan, maka perilaku korupsi bisa terulang. Namun, bila ada kombinasi pengembalian kerugian negara dengan pidana, pelaku akan berpikir dua kali sebelum korupsi,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya menjaga stigma terhadap pelaku korupsi untuk mencegah perilaku serupa.
“Pemulihan aset memang penting, tetapi pelaku juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Rekam jejak sebagai koruptor akan menjadi pengingat dan peringatan bagi masyarakat,” ungkap Riza.
Ruang Diskusi untuk Penyempurnaan Wacana
Hingga saat ini, wacana denda damai masih bersifat konseptual dan belum memiliki kejelasan implementasi. Riza menilai hal ini membuka peluang diskusi lebih lanjut.
“Konsep ini masih bisa didiskusikan dan disempurnakan. Sebagai akademisi, saya akan melihat bagaimana kebijakan ini berkembang. Kita perlu memastikan bahwa kebijakan ini efektif dan tidak menghilangkan efek jera,” jelasnya.
Hukum Harus Memberikan Efek Jera
Sebagai penutup, Riza menegaskan bahwa korupsi adalah tindak pidana yang merugikan publik secara besar-besaran. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi harus memberikan efek jera bagi pelaku.
Ia menekankan bahwa pemberian maaf tanpa hukuman tambahan tidak akan efektif dalam memerangi korupsi.
“Korupsi adalah kejahatan besar yang harus diatasi dengan kebijakan tegas. Memberikan maaf tanpa efek jera justru akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi,” pungkasnya. (hdl)