Surabaya (beritajatim.id) – Mobil dinas Pemerintah Provinsi Jawa Timur terparkir rapi di halaman Gedung Negara Grahadi, rumah dinas Gubernur Jawa Timur. Suasana malam yang tenang menambah kehangatan sejarah yang melekat pada arsitektur megah Gedung Grahadi.
Lampu-lampu yang menerangi dan dinding putih bangunan menggambarkan kemegahan gedung ini, yang terletak di jantung Kota Surabaya. Di balik keindahan Gedung Grahadi saat ini, tersimpan sejarah panjang sebagai saksi bisu perkembangan Surabaya selama lebih dari dua abad.
Gedung Grahadi terletak di Jl. Gubernur Suryo, Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, tepat di depan Taman Apsari. Berdiri sejak tahun 1795, nama “Grahadi” berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti rumah dan derajat tinggi atau indah. Gedung ini telah dibuka untuk umum sebagai tempat wisata sejak diresmikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada tahun 1991.
Gedung Grahadi berfungsi sebagai tempat persinggahan residen Surabaya di sisi timur bangunan utama. Selain itu, gedung ini juga digunakan sehari-hari oleh Gubernur Jatim untuk menerima tamu kenegaraan dan pemerintahan. Presiden Indonesia yang pernah menginap di Gedung Grahadi termasuk Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo (Jokowi).
Arsitektur dan Renovasi Gedung Grahadi
Daya tarik utama Gedung Grahadi terletak pada keindahan arsitekturnya yang bergaya Eropa. Sebelum dibangun, gedung ini berdiri di lahan seluas 16.284 meter persegi di tepi Kalimas.
Pemilik awalnya adalah seorang Tionghoa, dan pemerintah membeli lahan tersebut dengan kompensasi 1,5 sen dan biaya pembangunan sebesar 14 ribu ringgit. Gedung Grahadi awalnya mengusung konsep Tuinhuis, yaitu rumah indah dikelilingi taman bunga, yang dikombinasikan dengan gaya Belanda kuno (Oud Hollandstijl) oleh arsitek Ir. W. Lemci.
Dirk van Hogendoorp, penguasa Jawa bagian timur, adalah pemilik pertama Gedung Grahadi dan menggunakannya sebagai tempat tinggal serta tempat peristirahatan pejabat Belanda.
Selama masa pemerintahan, Gedung Grahadi mengalami beberapa perubahan. Pada tahun 1799-1809, gedung ini dimiliki oleh Fredrik Jacob Rothenbuhler. Sekitar tahun 1802, Gubernur Jenderal Daendels mengubah arah depan gedung sehingga menghadap ke selatan, membelakangi Kalimas.
Renovasi besar dilakukan pada tahun 1810 oleh Herman William Daendels, mengubahnya menjadi gaya Empire atau Dutch Colonial Villa. Selama penjajahan Jepang, gedung ini digunakan sebagai rumah singgah Gubernur Jepang, tempat sidang Raad Van Justitie (Pengadilan Tinggi), serta lokasi pesta dan resepsi dansa.
Peran dalam Sejarah Kemerdekaan
Gedung Grahadi juga memiliki peran penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Pada Oktober 1945, gedung ini menjadi lokasi perundingan antara Presiden Soekarno dan Jenderal Hawthorn untuk membahas perdamaian. Pada 9 November 1945 pukul 23.00 WIB, Gubernur Suryo, gubernur ke-6 Jawa Timur, menolak ultimatum menyerah tanpa syarat dari Inggris dan meninggal keesokan harinya di Gedung Grahadi.
Dengan usia lebih dari dua abad, Gedung Grahadi menyimpan banyak cerita sejarah Kota Surabaya. Sebagai generasi muda, penting bagi kita untuk mengenal dan menghargai sejarah, termasuk bangunan bersejarah seperti Gedung Grahadi yang menjadi bagian dari warisan kota kelahiran kita. (hdl)